Kamis, 05 Januari 2006

Ghibli: Ged Senki



Selamat Ulang Tahun kakek Miyazaki Hayao. Adakah masih terjebak untuk berkarya, setelah melontarkan aneka filosofi mengenai "usia tua" di Howl no Ugoku Shiro? Atau akhirnya sudah berhasil mengadakan regenerasi?

Mengintip studio Ghibli, ternyata sudah dihebohkan proyek baru akan luncur Juli 2006, yang ternyata disutradarai oleh putra si kakek itu sendiri. Tentang: oho, naga.
Tagline:
"Awalnya Manusia dan Naga adalah Satu. Manusia memilih Tanah dan Laut, Naga memilih Angin dan Api."
Pendukung:
blog catatan produksi dan blog catatan sutradara.
Oke deh, baca-baca dulu.

Nusantara Earthsea


earthseaKabarnya banyak pembaca yang mengasosiasikan Earthsea Archipelago dalam karya Le Guin dengan Indonesia.
Secara beliau juga gemar mempelajari karya-karya Clifford Geertz dkk, yang sering meneliti kondisi sosial budaya Nusantara.

Sang pengarang sendiri, menanggapi hal itu, hanya berkomentar: "I think we all have archipelagoes in our minds."


Proyek animasi terbaru Studio Ghibli untuk Juli tahun ini, adalah pertama kalinya karya terbaik dari pengarang Ursula K. Le Guin yang dianggap sebagai tiga besar fantasi, sederajat Lord of The Rings dan Chronicles of Narnia, yaitu Earthsea Cycles (terbit sekitar 1970), difilmkan. Kisah yang disorot akan mengutamakan buku jilid ketiga, The Farthest Shore.
Dua jilid sebelumnya telah dijadikan miniseri di akhir 2004, yang oleh sang pengarang dikeluhkan gagal merepresentasikan tokoh-tokohnya sesuai ras, apalagi beliau berlatar belakang antropologi dan sangat menentang "pemutihan" film (Oh, secara ini zaman dimana aneka film horor Jepang di"cuci" ulang di Hollywood).
Sang tokoh utama, Ged, seharusnya berwarna kulit merah kecokelatan.
Selain trilogi ini, ada tiga jilid lanjutan bernuansa feminisme yang diterbitkan sekitar tahun 90an-2001.
Selain itu Le Guin terkenal dengan karya-karya SFnya, dan penerjemahan Lao Tzu: Tao Te Tching: A Book About The Way And The Power Of The Way yang sangat mempengaruhi pemikirannya, termasuk dalam penulisan trilogi tersebut.
Ged Senki alias Tales of the Earthsea ini juga debut pertama Miyazaki Goro (38), putra tertua Miyazaki Hayao (65) sebagai seorang sutradara film animasi mengikuti jejak ketenaran sang ayah.
Sebelumnya ia menjabat direktur Museum Ghibli Mitaka no Mori, namun belum pernah terlibat sama sekali dalam pekerjaan studio.
Yang menarik, ia membandingkan pengalamannya melatih diri dan menghadapi tantangan dari orang sekitar ketika menyelami pekerjaan baru ini, dengan tahapan yang dialami sang tokoh utama, Ged, dalam trilogi ini (bisa dibaca di blog resminya, sementara terjemahan Inggrisnya bisa diakses melalui situs ini kalau kesulitan bahasa).





Salinan dari Yomiuri Online (12/26): Wawancara dengan produser Suzuki Toshio di sebuah Ruang Rahasia dekat studio, tempat dirumuskannya proyek tersebut.


---Mengapa sekarang, "Earthsea"?

Awalnya ini adalah karya yang dibaca dengan sangat bersemangat oleh
Miya(zaki Hayao)-san. Terpengaruh, saya juga ikut membaca, dan jauh sebelum mengerjakan Nausicaa (1984) sudah terpikirkan untuk memfilmkannya. Berbeda dari kisah petualangan atau fantasi umumnya yang mengisahkan seorang tokoh memperoleh kekuatan atau sihir dan memerangi musuh-musuhnya, dalam karya ini yang diperangi adalah "diri sendiri". Hal ini punya dampak besar. Pada titik penggambaran konflik dengan diri sendiri ini, jika tidak ada Ged Senki, seri Starwars jangan-jangan juga tidak ada.

---Apakah saat itu tidak berusaha untuk memfilmkannya?

Sebenarnya pernah sekali menegosiasikannya, namun gagal. Tampaknya dari berbagai penjuru berhamburan tawaran seperti ini namun tidak ada yang disetujui sang pengarang. Jika saat itu kami diizinkan mengerjakannya, mungkin
Nausicaa malah tidak ada. Tiga tahun yang lalu, melalui Shimizu Masako yang menerjemahkan karya ini ke bahasa Jepang, Le Guin melihat karya Miyazaki, dan mengatakan ingin meminta beliau memfilmkan karyanya. Bagi saya ini adalah kesempatan yang baik, namun Miya-san bimbang.

---Mengapa?

Saat itu kepalanya telah penuh dengan
Howl, dan waktu telah lama berlalu sejak ia ingin mengerjakannya, dan kini berpikir “apakah saya yang sekarang masih bias?” Hanya saja, saya justru ingin memfilmkannya di zaman ini. Sejak sebelum dibicarakan dengan Shimizu-san, ketika kebetulan membaca ulang, saya merasa buku jilid 3 sesuai sekali dengan keadaan masa kini. Saya rasa “perasaan nyata” yang semakin menipis, bisa dilukiskan.

---Perasaan nyata?

Kalau melihat pendapat publik, persetujuan menaikkan pajak semakin meningkat, politik mempertanyakan kepada rakyat mengenai swastanisasi pelayanan pos ataupun perubahan undang-undang, hal yang seperti ini tidak saya pahami. Ini adalah urusan politisi, dan semuanya berhubungan dengan tali yang mencekik leher sendiri. Dengan kata lain, saya rasa “rakyat” dengan perasaan nyata mulai lenyap. Yah, ini berkaitan dengan apa yang akan diungkapkan oleh
Goro-kun dalam film, maka saya cukupkan sampai di sini dulu.

---Lalu mengapa, Goro-san yang dipilih sebagai sutradara?

Asumsinya, ini adalah masalah masa depan
Ghibli.
Takahata Isao telah berusia 70 tahun. Miyazaki Hayao sebentar lagi 65 tahun. Berdua jumlahnya 135 tahun, ditambah saya, jadi mendekati 200 tahun, yahahahaha. Kalau begini terus, riwayat Ghibli akan tamat. Namun, niat awalnya saya ingin memproduksi film dari kedua orang itu, sehingga sudah bisa dibilang cukup puas. Di sudut hati saya ada pikiran "sudahlah sampai di sini saja", namun ada tanggung jawab terhadap orang-orang muda studio. Walaupun Miya-san memang jenius dalam berkarya, namun payah dalam mengajar. Ketika didudukkan di kursi asisten, hal ini segera ketahuan. Sedikit-sedikit menegur dari samping, sehingga kebanyakan orang menjadi gugup. Baik pengerjaan Majo no Takkyubin (Kiky's Delivery Service, 1989) juga, Howl kemarin ini juga, semula rencananya diserahkan pada orang lain sebagai sutradara, namun akhirnya dikembalikan ke beliau lagi. Dalam proses pembuatan film pun pemandangan seperti itu beberapa kali saya pergoki. Tentu beliau tidak bermaksud buruk, namun orang yang mulas-mulas dan berhenti hadir pun ada, yahaha. Maka terpikirkanlah keberadaan Goro-kun, kalau dia disempilkan di tengah, mungkin bisa berjalan dengan baik.

---Tapi, ia tidak berpengalaman membuat animasi ya.

Hal itu tidak saya permasalahkan. Ia mengerjakan museum dengan berdasarkan gambar imaji Miya-san, walaupun memiliki pengalaman di bidang pertamanan, belum pernah mengerjakan arsitektur sebelumnya. Yang penting, asal bisa melakukan pengamatan, siapa pun bisa melukis. Ketika saya mengerjakan majalah bulanan
Animage, untuk cacatan setelah mengedit saya menyuruh editor yang biasanya tidak pernah menggambar, untuk membuat potret diri. Semuanya awalnya mengatakan tak bisa, namun setelah mulai mengamati wajah sendiri dengan hati-hati, bisa menggambarkannya sampai akhir. Tambah lagi, ada kekuatan dari keseriusan mereka. Goro-kun sering menggambar karikatur di tengah rapat, maka dengan kemampuan mengamati itu saya yakin ia bisa melukis juga.

---Apakah ketertarikan Goro-san terhadap animasi sudah ada sejak dulu?

Saya tidak tahu. Biasanya ia tidak suka bekerja di dekat ayahnya, namun entah di mana tentu ada ketertarikan terhadap pekerjaan orang tuanya. Ketika ia menerima pekerjaan museum Ghibli, hal itu saya rasakan.

---Mengapa pada pendirian Museum Ghibli, Goro-san dijadikan sasaran?

Saya kenal dia sejak SMP, tapi ketika jumpa lagi di saat pemakaman kakeknya, ia menyapa, "Saya Goro" dengan meninggalkan kesan mendalam: menatap pasti, tanpa menjatuhkan pandangan. Ketika muncul rencana pendirian museum, entah kenapa wajahnya muncul. Kepada Miya-san saya tanyakan bagaimana kalau Goro-kun disuruh mengerjakannya, beliau berkata "Kalau Suzuki-san meyakinkannya dan dia setuju, apa boleh buat." Maka saya menugaskannya.

---Apa jawaban Goro-san?

Dalam dua balasan ia setuju. Ketika telah dikerjakan, ada dua hal yang membuat saya ingin berterima kasih. Satu, setelah menyelesaikan museum, ia bahkan berhasil juga menyelenggarakan manajemennya. Satu lagi, ketika ada imaji Miya-san yang wagu, dengan tegas dia tidak menerimanya. Hal ini saya piker sangat bisa diandalkan. Sambil melihat kekuatannya mewujudkan pemikirannya sendiri, jangan-jangan dia juga bisa mengerjakan film. Ketika muncul pembicaraan mengenai Ged Senki, saya tanyakan padanya "kalau memikirkan masa depan museum, masa depan studio tidak bisa diabaikan. Bagaimana kalau kamu ikut proyek ini?" Segera ia jawab "Oke, karena berkaitan dengan museum." Maka untuk menetapkan proyek, Goro-kun bersama beberapa orang berkumpul di ruangan ini, bulan Oktober 2003.

---Saat itu dia belum ditetapkan sebagai "sutradara"?

Ya. Setelah itu, di saat garis besar isi proyek telah dipastikan sampai titik tertentu, dan mulai memasuki tahap persiapan yang sebenarnya, saya bicarakan kepada Miya-san "ingin menjadikan Goro-kun sebagai penasihat." Beliau sangat menentangnya. Ketika dibicarakan dengan orang studio, mengenai keikutsertaannya juga ada perbedaan pendapat. Akhirnya ketika lempar kiri kanan siapa yang menggambar sketsa, akhirnya Goro-kun yang ditunjuk.

---Bagaimana mulai menggambar?

Pertama-tama, saya suruh ia melakukannya dengan meniru. Letakkan contoh sketsa sang ayah di samping, dan kalau ada potongan yang diinginkan, itu dijadikan referensi. Lalu pekerjaan ini saya suruh lakukan secara terang-terangan di depan orang. Selain itu, dari pemikirannya sendiri juga, berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari Pameran Pixar di museum Ghibli, ia menggunakan teknik menggambar di kartu, mengecilkan dengan fotokopi dan menempelkannya.

---Kesan terhadap sketsa yang telah jadi?

Wah daripada saya, lebih baik memperkenalkan ucapan orang lain. Animator terkenal OtsukaYasuo (seri Lupin generasi III) menyetujui bahwa "sebagai film ini hebat sekali" ketika saya beritahu bahwa "Ini buatan Goro-kun", dia terkejut dari dasar hatinya, "Wah anak katak memang katak juga…" Lalu, ketika diperlihatkan pada Anno (Hideaki, Gainax, animator Nausicaa dan Shinseki Evangelion), mengetahui bahwa Goro-kun berusia 38 tahun, ia menggulung lidah "Mengapa tidak lebih cepat memulainya!", dan, "ini memang sepenuhnya anime cap Miyazaki ya".

---Tanggapan dari sutradara Hayao?

Tidak melihatnya. Terhadap pemanfaatan Goro-kun sebagai sutradara, ia melontarkan pendapat "Suzuki-san pasti kesambit sesuatu," dan marah: "tak mungkin anak itu bisa menjadi sutradara. Menggambar pun tidak pernah, anak itu tak tahu apa-apa." Di situ, saya perlihatkan poster karya Goro-kun yang menggambarkan
naga dan Arren yang saling berhadap-hadapan. Dan beliau terdiam. Itu adalah sudut kamera dari samping yang tidak pernah dipakai oleh Miya-san. Selembar lukisan memang punya kekuatan sedemikian rupa. Dan saya menegaskan akan melanjutkan proyek ini, dan beliau hanya terbengong-bengong beberapa saat.

---Apakah dengan demikian masalahnya beres?

Tidak juga. Bulan Juni kemarin, ketika akan meminta persetujuan Le Guin mengenai "akan mengerjakan dengan isi seperti ini", suatu hari saat suasana hati Miya-san sedang bagus, saya minta "Tolong gambarkan selembar", dan ia gambarkan kota untuk latar film, namun setelah itu "Seharusnya saya tidak menggambarnya," dengan penuh penyesalan. Yahahaha. Tapi, akhirnya, yang pergi meminta persetujuan adalah Miya-san.

---Bukan Goro-san?

Awalnya direncanakan begitu, namun menurut Miya-san "Itu aneh." Kalau sutradara punya waktu, seharusnya selembar pun lebih banyak menggambar. Untuk mengurus izin ke pengarang adalah tugas produser. Maka saya usulkan "Kalau begitu ayo Miya-san pergi sama saya." Bimbang dengan perkembangan yang tidak disangka, ia terbujuk juga, "sebagai penggemar berat Le Guin, baiklah saya akan pergi".

---Bagaimana keadaan pertemuan?

Kepada Le Guin saya sembunyikan bahwa Miya-san akan ikut. Lalu, ketika saya perkenalkan Miya-san sebagai "Inilah Miyazaki Goro". Dia tertawa, "Sudah lanjut usia ternyata ya." Sejak masuk ruangan saya rasa ia sudah menyadari yang sebenarnya, namun tidak menyinggungnya sama sekali. Jadinya menghangatkan suasana.

---Apakah negosiasi berjalan lancar?

Banyak hal yang terjadi. Sebab beliau menginginkan karyanya difilmkan oleh Miyazaki *Hayao*. Pertama-tama Miya-san bilang, "Hari ini biarkan saya yang bicara," dan meluapkan segala perasaan beliau terhadap
trilogi Earthsea. "Ged Senki selalu saya letakkan di bawah bantal. Tak pernah lepas sesaat pun. Ketika bingung, bermasalah, berkali-kali buku ini saya baca ulang. Saya akui, semua karya sejak Nausicaa sampai Howl terpengaruh oleh buku ini. Untuk memfilmkannya, di dunia ini tentu tidak ada orang yang lebih tepat daripada saya."

---Lalu bagaimana?

Kemudian, "Hanya saja," tambahnya, "andai pembicaraan ini muncul sejak 20 tahun yang lalu, saya akan segera mencaploknya. Namun sekarang saya sudah berumur. Saat ini, Putra saya dan stafnya berkata ingin mengerjakannya. Andai mereka bisa menampilkan daya tarik yang baru, bukankah itu bagus juga?" Dan menutup dengan, "Mengenai skrip akan saya pertanggungjawabkan secara penuh. Kalau dibaca payah, akan segera saya hentikan."

---Tanggapan dari Le Guin?

Kalem ya. Apakah ini bedanya orang Jepang dengan orang Amerika, sangat logis. Beliau berkata, "
Ada tiga pertanyaan." Pertama, "Saya dengar yang akan difilmkan berpusat pada jilid 3, tokoh yang muncul adalah Ged yang sudah setengah baya. Bukankah justru sesuai dengan anda yang sekarang?" Kedua "Anda menyatakan siap mempertanggungjawabkan penuh pekerjaan Goro, apa maksudnya?" Ketiga, "Kalau tidak bagus akan dihentikan itu apa maksudnya, bukankah hari ini anda kemari meminta persetujuan memfilmkannya?" Mendengar itu Miya-san menoleh pada saya dengan wajah bingung, "Apakah saya salah bicara?"

---Apa jawaban anda?

Saya menjawab "Beliau bertanya, apakah pertanggungjawaban penuh itu berarti akan menjadi produser film ini?" Dan Miya-san tiba-tiba di hadapan Le Guin berteriak, "
Ini bukan lelucon! Ayah dan anak berderet namanya di satu film, hal memalukan seperti itu tidak bisa saya lakukan!" Ia orang yang blak-blakan.

--- Pembicaraan jadi rumit.

Bagi orang Amerika itu tidak bisa dipahami, yahahahaha. Ketika bingung bagaimana jadinya, putranya
Theo mengengahi dengan mengajak makan. Theo pernah mampir ke Jepang sebelum negosiasi, mengobrol macam-macam dengan saya dan Goro-kun, sehingga mendukung kami. Dugaan saya, sebagai sesama putera dari orang hebat, mungkin mereka saling sambung rasa.

---Akhirnya?

Persetujuan dicapai sebelum makan malam.

---Bagaimana keadaan setelah itu?

Sekarang pun masih kacau balau. Mereka berdua hampir tidak saling bicara. Sampai kemarin Miya-san mengerjakan film pendek untuk museum di lantai yang sama, namun walaupun suara masing-masing terdengar satu sama lain, tidak ada usaha untuk saling menghubungi. Bahkan jika di dalam ruangan hampir berselisih jalan, mereka saling menghindari sampai berbalik arah.

---Bagaimana mencantumkan kredit untuk sutradara Hayao?

Wah bingung. Dalam keputusasaan, terpikirkan usul yang unik dan ajaib. Misalnya,
*********************************
"
Ayah... : ... Miyazaki Hayao "
*********************************
Yahahahaha…

Sambil mendengarkan ini, jadi terkenang film Porco Rosso (1992). Ketika direktur pabrik pesawat yang berwajah mirip produser Suzuki diminta memperbaiki pesawat , ia memperkenalkan Fio seorang perancang wanita muda. Kepada Porco yang berusaha menolak, sang perempuan bertanya, apakah yang penting pengalaman? Porco menjawab: "Inspirasi."
----------------------------------------(Kenichi Yoda)

Tidak ada komentar: