Selasa, 31 Januari 2006

Variz van Java

Sebenarnya, ini dimaksudkan untuk dikirim di awal November kemarin tapi terlupakan.

Lahir dan tumbuh menikmati duapertiga usia di Bandung, membuat diri terbiasa akan …kelemahan faling patal sebagian besar orang Sunda: Kekacauan antara huruf ep seperti Panta dan pe seperti Pesfa. Awalnya dikira hanya olok-olok saja, namun lambat laun tersadar bahwa betapa memang itu kenyataan yang tak bisa dihindari, yang membuat mereka tidak bisa bersemboyan Veni Vidi Vici, dan lebih tertarik pada Mini Midi Maxi (maklum, kota FO)

Tersebutlah fada suatu hari Idul "Vittry", karena harus menjaga nenek, kami kakak beradik sepupu mencari temfat shalat terdekat: dan kebetulan itu adalah sebuah lapangan kantor folisi.
Lumayan, sekalian bisa ngeceng fara ferwira muda kan.
Sayangnya, khutbah Id oleh sang khatib langganan mereka, sebut saja ustadz Bou dari MUI cabang Bou, sangat ringan dan mudah terabaikan.
Kami pun mulai asyik membisikkan hal-hal lain yang lebih penting (???)

Hanya saja… Ada yang sangat mengganggu di telinga...
... menahan lafar... menjaga fandangan... bahwa pitrah manusia itu... kepada pakir miskin dan anak terlantar...

Huaaa? Afa gak salah tuh?
Mungkin maksudnya melawak dengan gaya Kang Ibing?
Tapi isi ceramah sungguh terlalu biasa untuk dianggap melawak.
Mau tak mau kami akhirnya menyimak khutbah dengan seksama, walaupun itu berarti sekedar menghitung berapa kali ep dan fe tertukar oleh beliau (tercatat 36 kali).

Kalau direnungkan, masalah ini mungkin berasal dari kata serapan, ketika bahasa Arab yang tidak mengandung huruf p sama sekali, direkayasa untuk menjadi bahasa nusantara melayu dengan penambahan titik tiga pada huruf fa misalnya, sementara bahasa daerah kebanyakan tidak mengandung huruf f sama sekali.

Orang Jepang ternyata juga punya masalah yang itu-itu juga. Bahkan untuk deretan huruf pa-pi-pu-pe-po dan ba-bi-bu-be-bo, mereka menggunakan tanda kutip pada deretan huruf ha-hi-fu-he-ho; sementara fa-fi-fu-fe-fo diturunkan khususnya dari huruf hu yang dibaca fu diikuti a-i-e-o kecil. Misalnya nama senseiku, Furuhara, tapi kalau dilihat urutan hiragana aslinya, seharusnya Huruhara...

Huruf va-vi-vu-ve-vo, lebih bermasalah lagi... Awalnya disamakan dengan ba-bi-bu-be-bo, misalnya Venus ditulis jadi Biinasu, Vegeta jadi Bejita. Tapi karena penggunaan kosakata asing semakin banyak diserap dengan huruf katakana, kini yang digunakan adalah huruf u dengan tanda kutip dibaca sebagai vu, dan diikuti huruf a-i -e-o kecil.

Herannya, dalam hampir setiap jepretan foto, dalam hampir setiap panggilan chiizu rata-rata orang Jepang dari kakek nenek sampai bayi balita semua dengan serta merta mengacungkan huruf V ini. Sonnani nigate dattara yaranakute ii janka...

Lalu teringat juga bahwa bahasa Sanskrit tuh banyak juga huruf V-nya: Svami, Veda, Nirvana, Vihara, yang dengan mantap di serap ke huruf U, W dan B: Suami, Weda, Nirwana, Biara...

Di lain pihak, adikku, cewek bergaya hidup (gaya makan maksudnya) Nyunda abisss dan suka sok jadi penjelajah alam, ternyata justru punya hobi sampingan yang gak ketulungan: Mengidolakan berbagai hal yang mengandung huruf V.

symphonyVEntahlah, kurasa ini berkaitan dengan bau asing ala oksidentalisme pada huruf tersebut. Huruf yang diwujudkan oleh simfoni nomer 5 BeethoVen yang... jeng-jeng-jeng-jreeeng, jeng-jeng-jeng-jreeeng itu.
(Sandi Morse huruf V ternyata mengikuti ritma ini, titik-titik-titik-garis)

Sebutlah Vincent (van Gogh) pelukis sinting yang brilian itu, yang poster replika lukisannya menghiasi kamar adikku ini.
Lalu Vaslav (Fomich Nijinsky) penari balet jenius di generasi lalu, berjaya sebelum masa perang dunia I dan kemudian menderita schizophrenia, yang entah kenapa sampai membuat adik serius bersurat-suratan dengan kelompok penggemar dari daerah Balkan.
Viktor (Frankenstein) tokoh ilmuwan gila yang berhasil membangkitkan mayat hidup dalam novel panjang terbitan tahun 1818, buku tebal berbahasa inggris pertama yang dibaca adikku dengan setia.
Tentunya banyak juga Viktor yang lain (van Dort misalnya) yang muncul dalam kisah-kisah Gothic.
Lalu Vienna, Venetia, Viking, dan seterusnya.

Entah mengapa, adikku itu malah tak begitu tertarik dengan yang lebih *masa kini* seperti… hmmm, Van Damme (ada sih temanku SMP-SMA yang pernah punya kompleks khusus cukup parah terhadap orang ini, tapi itu masalah lain).
Atau Viggo, misalnya (mungkin juga karena saya berhasil meyakinkan bahwa karakter Aragorn itu sosok yang digemari pria, buktinya si Legolas mengejar dia habis-habisan sebelum akhirnya menyerah dan berpaling pada Gimli… lho, gak nyambung yah?)
Lalu dia pernah juga terbengong berjam-jam di depan televisi hanya demi menunggui tayangan film Indonesia berjudul Virgin, bukan karena bagus tetapi karena katanya pantas ditertawakan, sementara berkat sistem sensor jam tayangnya diubah tiba-tiba bergeser dua jam sampai tengah malam.
Dan yang jelas dia anggota gerakan anti Vetsin.

Dan aku pun tak yakin kalau dia memperhatikan si compang-camping tokoh misterius ff7dc Vuinsento Vuarentain (uhya, marukkiri kizana namae) yang membuatku mulai melirik kembali kotak hitam mungil yang akhir-akhir ini disalahgunakan melulu...
Terbimbangkan antara nafsu bermain ala abg dengan kesadaran bahwa lebih banyak hal yang perlu dilakukan selain tersepona pada hal yang maya...


Bagaimanapun juga mungkin aku akan mengajak adikku ini membaca komik
V for Vendetta...
yang setiap babnya diberi judul berinisial V.
Rilis filmnya diundur sih ya.

Voilà! In view, a humble vaudevillian veteran, cast vicariously as both victim and villain by the vicissitudes of Fate. This visage, no mere veneer of vanity, is it vestige of the vox populi, now vacant, vanished. However, this valorous visitation of a by-gone vexation, stands vivified, and has vowed to vanquish these venal and virulent vermin vanguarding vice and vouchsafing the violently vicious and voracious violation of volition. The only verdict is vengeance; a vendetta, held as a votive, not in vain, for the value and veracity of such shall one day vindicate the vigilant and the virtuous. Verily, this vichyssoise of verbiage veers most verbose so let me simply add that it's my very good honor to meet you and you may call me V.
(Variz van Java = ejaan pada hiasan kaca angkot sthall sadang serang yang parkir di jalan veteran depan toko vania)

4 komentar:

Fendrri mengatakan...

Udah, kotak hitam itu dimainin aja mbak... biar ga penasaran. hehe.

Anonim mengatakan...

Nama orang Indonesia juga jadi menyedihkan neeh:
Sarwanto = Saru Wanto
Dani = Gubrak Tumbillaa!

Anonim mengatakan...

"V" gagal tampil menyambut 400 tahun sang teroris Guy Fawkes (5 November 2005), karena terdapat beberapa adegan pengeboman kota London.
Sementara London masih dalam bayang-bayang peristiwa 7/7, film tersebut harus melakukan penyesuaian sensor terlebih dahulu, jadi diundur ke maret depan.
Mungkin memang perlu ditonton bagi yang lebih gemar Elrond daripada Aragorn, atau Agent Smith daripada Neo.

Anonim mengatakan...

masih mending mbak.. coba kalo Gilang jadi girangu..