Walaupun sejak masa PD I telah memasang Jepang ke pihak antagonis, Tintin dan Snowy masih punya penggemar berat di sini. Namun, tidak demikian halnya dengan Asterix, Obelix dan Idefix. Sampai kini, mereka tetap tak terkenal di negara yang punya tradisi cergam khas: Jepang, juga Amerika.
Entah sebagai sekadar sindiran, atau sekaligus pelampiasan kekecewaan, Uderzo pun menerbitkan komik ke-33 Asterix dengan menampilkan masalah ini.
Tersebutlah makhluk-makhluk berperadaban canggih dari luar angkasa datang ke desa Galia berusaha memperoleh senjata rahasia, membuat penghuni desa mengira telah terjadi apa yang paling ditakuti, yaitu langit runtuh di atas kepala mereka...
Tersebutlah makhluk-makhluk berperadaban canggih dari luar angkasa datang ke desa Galia berusaha memperoleh senjata rahasia, membuat penghuni desa mengira telah terjadi apa yang paling ditakuti, yaitu langit runtuh di atas kepala mereka...
Yang agak mengganggu adalah, bahwa orang-orang Galia tampak 'minder' terhadap pihak Tadsilweny beserta superklonnya yang doyan hotdog, walaupun masih sempat meledek mereka.
Sedangkan Nagma, digambarkan sebagai makhluk kuning bodoh buruk rupa berbaju besi, bertopeng mata bundar, dan membawa robot tikus saiber (stereotip Jepang???).
Ini jelas menggambarkan kecemburuan kakek Uderzo... Sejak ditinggal Goscinny memang bisa dimaklumi mutu cerita agak berkurang, namun kali ini adalah yang paling parah. Mungkin dia belum berhasil menghargai manga sebagai karya seni yang indah, karena baru berjumpa dengan contoh judul-judul yang salah kaprah...
Sebagai komik yang selama ini mengangkat isu-isu patriotisme (atau chauvinistisme?) terhadap Prancis, Asterix sebenarnya rancu: kedua penciptanya sendiri bukanlah asli Galia. Albert Uderzo keturunan Italia, sedangkan Rene Goscinny malah keturunan Yahudi Polandia.
Di negara Prancis yang sekarang pun, bangsa Galia Celtic sebenarnya sudah tersingkir oleh bangsa Franca Gothic. Dengan demikian, sensitivitas rasial seharusnya sudah terasah dengan baik.
Mengapa terhadap Jepang belum?
Menumpang perhatian masyarakat Jepang pada negara Prancis sejak Piala Dunia 1998, usaha memperkenalkan jagoan mungil kita dilakukan secara bertahap dengan penayangan animasinya di NHK-BS, dan filmnya di bioskop-bioskop.
Jauh sebelum itu, juga telah dirintis oleh tiga profesor pada tahun 1974, dengan diterbitkannya tiga judul pertama Asterix oleh Futaba Shoten. Namun, komik ini tenggelam oleh kejayaan manga domestik saat itu. Dan kabarnya memang hanya sekian ratus eksemplar yang diterbitkan, untuk komunitas kecil saja.
Padahal, kesulitan penerjemahan antarbudaya seharusnya telah dapat diterobos karena di masa itu (era 70-80an) telah banyak diterbitkan manga-manga yang mengkhususkan diri pada tema sejarah budaya Prancis/Eropa (terutama genre shojo, seperti Versailles no Bara).
"Waai, Asterix!" "Komik rakyat Prancis ya." "Itu parodi 'Perang Galia'."
(Eroica Yori Ai wo Komete 32, "Celtic Spiral", September 2005)
Sedangkan usaha menerbitkan di Amerika, seperti diceritakan di kumpulan komik ke-32 (Asterix et la rentrée gauloise) dirintis sejak 1969, bahkan sempat promosi pilot di National Geographic. Mungkin juga berkenaan dengan usaha tersebut, dalam edisi lama Superman, orang-orang Galia pernah dimunculkan sepintas. Rencana tersebut batal karena sulit memenuhi tuntutan sindikat suratkabar agar menyesuaikan ukuran gambar dengan komik strip yang biasa beredar. Khalayak Amerika kemudian lebih mengenal Asterix melalui terjemahan Inggris Britania yang lebih memperhatikan pemahaman budaya.
Bagaimanapun juga, Asterix adalah karya seni dengan kekhasan tersendiri. Belum bisa terbayangkan bila ia tampil dalam format yang berbeda. Dan ia masih tetap berjaya di kandang sendiri, menang dari DB, Naruto maupun OP.
(Tabel penjualan komik vs manga di Prancis tahun 2005, dicaplok dari doubleclixblog)
Siapa tahu, sejak Denmark mengambil alih teknologi animasi 2D dari Disney untuk Viking, atau sejak Zidane menghebohkan lapangan, peluang Asterix merambah dunia kembali terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar