Sepanjang jalan kenangan, makin terasa perbedaan suasana di wilayah ini dengan wilayah yang pernah kami kunjungi, bukan hanya keadaan alam dengan tumbuh-tumbuhan khasnya, tapi juga kibaran bendera di seluruh pelosok desa.
Mengutip laporan dari Didit (hihi, malas sih menulis sendiri):
Di daerah Rimba Raya kami sempat diberhentikan oleh salah satu pos penjagaan, ternyata mereka hanya menitipkan seorang bapak guru yang hendak mengajar di SMP.
Dari cerita dengan bapak guru itu dapat sedikit terbayangkan suasana Aceh saat ini. Dimana bendera Merah-Putih berkibar di sepanjang perkampungan yang kami lewati, dan dinamika masyarakat mulai normal kembali walaupun lewat malam mereka masih belum berani keluar rumah, setidaknya darurat militer dan darurat sipil yang dijalankan membuat mereka tidak terlalu merasa was-was seperti dulu lagi. Mengejutkan memang, dia mengatakan bahwa orang-orang di Aceh Barat sangat mengharapkan perpanjangan darurat sipil sebelum GSA benar-benar tuntas...
Hehehe, ini sangat berbeda dengan tuntutan dari orang-orang dan mahasiswa-mahasiswa seperti gw di pulau Jawa yang menekankan agar pemerintah segera menghentikan darurat sipil di Aceh. Bapak guru tersebut menekankan bahwa dia sama sekali tidak memihak siapapun baik GSA, TNI, atau pemerintah, ia hanya melihat bahwa kondisi masyarakatnya jauh lebih baik sekarang. Bahkan dia mengecam dan bisa dengan gamblang menyebutkan nama-nama anggota DPR-RI yang dia lihat dari tv, yang selalu mengaku mewakili rakyat Aceh dan mengusulkan penghentian darurat sipil di Aceh.
Yang saya ragukan, dari pengamatan sepintas lalu ke sekolah-sekolah, betapa memang pendidikan dasar di Aceh sungguh ditekankan kepada materi PPKN daripada: peningkatan keterampilan, atau kemampuan berhitung, misalnya. Jadi para guru dan pegawai negeri yang dimutasi ke sini bisa dipastikan hanyalah mereka yang lolos ujian kesetiaan terhadap NKRI. Masa kah dalam suasana genting seperti ini masih sempat-sempatnya mengajarkan teori berbangsa dan bernegara? Pantas saja saya bisa bertemu dengan dua ekstrim orang Aceh: Nasionalis habis-habisan sampai memeras tubuh sendiri, dan yang Anarkis yang jenuh akan kesiasiaan usaha ini.
Melaju di depan masjid agung, mata akan tertumbuk pada slogan yang terukir di markas tentara:
NKRI HARGA MATI
Dan di hari-hari terakhir, isu blok Ambalat merebak pula, sehingga mobilisasi tentara sempat membuat beberapa anggota tim terkatung-katung tak kebagian helikopter untuk pulang dan harus mengubah rencana. Menurut Sali, sebagai negara memang harus ada ketegasan hitam putih agar dapat mempertahankan wilayah. Tapi mengapa tebusan dari ungkapan itu harus penuh kekerasan? Apa memang sama sekali tak ada kesempatan tawar menawar?
Kami telah diwanti-wanti dan meniatkan dalam hati untuk sama sekali tidak membahas tentang patriotisme agar tidak menimbulkan kesenjangan komunikasi dengan anak-anak yang mungkin anggota keluarganya terlibat. Namun kelepasan juga pada pelajaran Geografi ataupun Sejarah. Sebagai rakyat Bandung yang bangga, aku mengajukan topik KAA di depan kelas. Dan tertumbuk pada perihal "hak merdeka". Dan obrolan pun meluas kepada bagaimana memandang suatu persoalan dengan lebih menyeluruh, bagaimana mewujudkan cinta tanah air, dan bagaimana menyusun kehidupan masa depan.
Kalau JAPRA (eits bukan jaringan angkatan perang rakyat aceh lho ya) sih, terlepas dari judul iklan di samping ini, mengaku masih mau ditawar, kalau pintar merayu siapa tahu bisa sampai setengah harga...
yahahahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar