Entahlah apakah maksudnya sebagai balasan undangan acara-acara saya selama ini, atau hanya viral marketing, tibalah sepucuk undangan acara peluncuran ke email saya. Walaupun sebelumnya tak ada sebersit pun niat mengejar-ngejar buku ini, kebetulan letak Mizan Point sangat dekat dengan tempat nongkrong saya, maka tanpa pikir panjang, hadirlah saya mengajak Ari, Jay, dan Ibet.
Lumayan, bisa menonton sandiwara, pentas musik, artis yang beredar, dan dapat tanda tangan langsung.
Sayangnya, saat itu kekuatan tubuh mencapai titik rendah, sehingga besoknya saya menamatkan bacaan dalam keadaan terkapar di tengah kompresan. Setidaknya, rasa sakit dan penat agak terabaikan, namun entahlah apakah hal-hal yang dapat saya simpulkan di bawah ini memang asli dari bukunya atau jangan-jangan bercampur aduk dengan igauan. Bagaimana menceritakannya supaya tidak spoiler, ya.
Intinya adalah mengenai semacam
kejut budaya balik yang dialami sang tokoh, Ikal, sekembali dari melanglang buana bersekolah tinggi. Ternyata, ilmu dan pengalaman yang telah dia peroleh dari petualangan hebatnya itu pun tidak serta-merta menjamin dia bisa mengatasi segenap kesulitan yang dihadapi di daerah asalnya sendiri, bahkan tidak untuk sekadar mengatasi gigi bungsu. Sepak terjangnya yang canggung itu menjadi pusat perhatian masyarakat sekeliling, sebagai hiburan sekaligus ajang taruhan di warung kopi.
Secara isi, banyak hal baru yang belum digali dalam ketiga buku sebelumnya mengenai keadaan masyarakat Belitong, antara lain melalui stereotip kelompok suku dan ras, diiringi julukan-julukan sesuai sifat masing-masing tokoh Melayu yang berperan di kisah ini. Dari situlah, sepintas lalu, judul buku ini terumuskan... Jadi sesungguhnya Mak Cik Maryamah itu bukan siapa-siapanya Bang Anatoli, cuma penggemar berat, kali ya.
Antara judul, subjudul, gambar sampul dan isi memang saling menipu. Mungkin sengaja, supaya susah ditebak.
Bab-bab awal cukup menggugah rasa penasaran, walaupun menurut hemat saya cerita kelulusan di luar negeri seharusnya ditamatkan saja ke dalam buku sebelumnya, agar masing-masing fase kehidupan menjadi utuh berdiri sendiri di tiap buku (sebagaimana bab-bab SP yang terkait alur Edensor juga mendingan disatukan sekalian...)
Alur cerita yang melibatkan pembuatan perahu dan pelayaran menyeberangi laut, mungkin bagi beberapa pembaca membosankan, atau terkesan mengawang, atau menyimpang dari harapan, tapi justru inilah yang sedikit memenuhi tuntutan saya akan pengimbang dominasi asing dalam kisah terfavorit seperti
Pirates of the Caribbean dan
One Piece. Horeee! Betul banget, betul banget!
Lanun Melayu kan sejak zaman Borobudur jelas paling unggulan!!! Ngapain pula anak pulau jauh-jauh berlagak menantang
Eropa-Afrika, sementara menaklukkan
Selat Malaka yang ada di pelupuk mata malah belum sempat! Hanya saja fenomena ini masih dalam tahap pengamatan dan penjajakan... Coba tokoh utamanya terlibat langsung jadi perompak sekalian, itu baru seruuu.
Lalu penampilan kembali tokoh-tokoh LP dengan sensasional terkesan dipaksakan. Penggambaran keadaan masing-masing juga agak kontradiktif dengan epilog LP. Mahar yang katanya sudah tobat, masih terlibat perdukunan. A Kiong yang dibilang punya toko kelontong, di sini buka warung kopi. Sementara Lintang... Kalau masih sebegitu pintarnya, ya memang gak perlu sekolah lagi lah, ikut ujian persamaan kek, lalu cari karier yang lebih bermasa depan? Eh tapi bekerja serabutan tentu lebih nikmat daripada jadi pejabat... Yang aneh, tidak satu pun dari mereka terlibat sebagai anggota masyarakat sekitar, baik ikut bertaruh ataupun mendapat julukan. Apakah memang sudah beda pergaulan?
Bayangan sosok sang cinta pertama yang di LP ditekankan tak terlacak lagi dan hanya akan disimpan sebagai kenangan indah --walaupun diam-diam masih didambakan di dua buku selanjutnya-- sampai di MK semakin memancing Ikal menempuh hal-hal yang paling tidak masuk akal dan tidak konsisten. Penokohan A Ling sendiri, tetap terhenti di permukaan. Informasi yang bertambah hanyalah, segurat rajah, dan sepintas kisah-kisah perjumpaan mereka di masa kecil yang tidak dibeberkan di LP. Rentang waktu yang berlalu tidak memperdalam pemahaman mengenai sifat-sifatnya setelah dewasa. Jangan-jangan dia muncul lagi hanya demi memenuhi khayalan pembaca.
Mungkin yang layak dikecam adalah penyunting, mengapa tega lepas tangan meloloskan kerancuan-kerancuan seperti itu. Di buku pertama bolehlah, kan sebagai "terobosan baru oleh penulis pemula". Di buku kedua dan ketiga saja sudah aneh. Masa sih kelompok sebesar Mizan bisa kekurangan proofreader yang cukup intelek untuk lebih kritis meninjau pernyataan-pernyataan sok ilmiah yang ngawur, agar tidak menyesatkan pembaca yang tidak tahu dan malas mengulik? Haree genee, kroscek info lewat wiki/google kan bisa? Perlukah sedemikian terburu-buru menerbitkan serangkai tetralogi?
Sementara yang ini kan adalah buku keempat, yang sudah dirancang sejak sekian lama untuk mengikat ketiga buku sebelumnya sehingga menjadi satu kesatuan utuh. Ini malah membuyarkan. Saalh keitk™ masih ada di sana-sini. Seharusnya baik penulis, penyunting maupun penerbit sudah lebih piawai mengerjakan tugas masing-masing, apalagi toh pangsa pasarnya cukup aman karena para penggemar berat sudah menanti-nanti setengah gila. Apa sih susahnya meningkatkan mutu. Katanya berevolusi, mana? Kejanggalan yang jelas terlihat malah terlewatkan. Jangan-jangan penerbit dan penyunting sengaja membiarkan itu apa adanya penulis? Supaya, katakanlah, manusiawi?
Tapi jangan-jangan kerancuan memang menjadi senjata utama dan gongnya buku ini... Antara halaman pertama dengan lembaran paaaling akhir, adalah kerancuan paling parah dalam buku ini; menarik memang, tak terduga, namun sama sekali tidak lucu... Hmmm. Apakah ini termasuk pelajaran moral? Apakah ini islami?
***
Yang menjengkelkan adalah sistem promosi pemasaran yang menunggangi gunjingan. Kalau mau membantah secara gak penting begitu jangan disambi di hari peluncuranlah! Pintar-pintarlah meredam lewat jalur belakang. Seakan-akan bukunya saja tak cukup kuat mengundang wartawan yang agak lebih bermartabat daripada infotainment. Tapi mungkin perlu maklum, seniman dan pujangga rata-rata memang orang aneh, apa boleh buat.
Kesimpulannya,
mau lahir dan besar di manapun,
Orang Melayu Tetap Pembual. huh.